Renungan pagi ini
Ritual Keagamaan Runtuh karena C-19.
Baca juga:
Surat Terbuka Dari Ojol Relawan Nusantara
|
Ditulis Oleh: DR.H.Adang Rukhiyat, M.Pd.
(Ketua Umum Maestro Foundation).
Di masa Covid 19 ini, untuk pertama kali dalam sejarah umat Islam modern kaum muslimin mendapat pembatasan - alias PPKM bahkan di beberapa tempat, larangan tegas untuk melaksanakan kegiatan ritual ibadah (sholat Ied dan sholat Jumat) di masjid di musholla dan lapangan. Peristiwa ini bukan hanya terjadi di peloksok tanah air, tetapi juga berlaku hampir di seluruh dunia. Bahkan di pusat kegiatan ritual ibadah umat Islam terbesar yang menjadi kiblat umat Islam di seluruh dunia umat Islam harus ikut menutup diri, alias dilarang sholat dan thowaf di dekat Kabah dan lingkungan Masjidil Haram, Mekkah, sampe² naik haji buat rakyat Indonesia dibatalkan .
Baca juga:
Siapakah Satrio Piningit Tahun 2024?
|
Pemerintah di seluruh dunia, dari mulai level tertinggi PBB, WHO, presiden, gubernur, bupati, walikota hingga pejabat RT, saat ini turun tangan mengeluarkan kebijakan melarang, membatasi umat memasuki masjid dan musholla untuk kegiatan sholat berjamaah di hari-hari besar dan hari penting bagi ummat Islam.
Hampir seluruh masjid, musholla, dan majelis taklim di kota - kota besar maupun kecil bukan hanya pintunya ditutup dengan kunci gembok, tetapi juga lapisan karpet-karpet yang ada di dalam masjid harus diangkat, menandakan betapa seriusnya larangan sholat dan beriumpul di masjid.
Apa sebetulnya yang sedang terjadi hingga begitu dahsyat pengaruh Covid 19 terhadap umat beragama hingga mampu mengubah total cara pandang umat Islam (juga umat agama lainnya). Sholat dan berzikir di masjid, kebaktian di Gereja, yang sebelumnya begitu sakral tiba - tiba masjid dan tempat ritual ibadah lainnya seolah-olah tak punya arti lagi. Ka'bah, Vatikan, yang dianggap jantung kehidupan ummat beragama terbesar, tiba tiba saja menjadi seonggok bangunan batu yang sepi, "ditakuti" ummat enggan mendekat.
Pelajaran berharga dan penting apa kira-kira yang bisa kita tarik dari semua peristiwa di atas?
Baca juga:
Api Pengetahuan Bung Karno
|
Setidaknya ada lima pelajaran penting dan berharga yang bisa kita petik. Kelimanya memperlihatkan dan berujung pada runtuhnya sikap pengkultusan terhadap ritual agama.
Pertama, pendemi covid 19 memiliki kekuatan global yang luar biasa, membuat umat manusia tunduk setunduk - tunduknya sampai - sampai semua pola prilaku hidup manusia saat ini diatur berdasarkan protokol covid 19, ternasuk mengatur meniadakan kegiatan ritual rutin keagamaan yang sudah ribuan tahun menjadi bagian dari kehidupan beragama umat manusia, lebih khusus lagi bagi ummat islam yang sadar betul bahwa ritual keagamaan sbg hal _"given"_ dari Allah bukan karangan manusia.
Kedua, kegiatan ritual beragama secara berjamaah di masjid, musholla bahkan di depan Ka'bah, gereja, vihara, Batlehem, ternyata terbukti bukan hal yang permanen dan bukan pula postulat penting yang tak bisa diubah dalam kehidupan beragama. Sekarang orang boleh tak pergi ke masjid dan sujud di depan Ka'bah, atau ke gereja dan vihara (termasuk mungkin melupakannya ), asalkan tetap berTuhan.
Bertuhan artinya, mampu menyambungkan serta memelihara frekwensi hubungan positif manusia dengan Sang Maha Pencipta (spiritual) meskipun bukan di tempat - tempat berupa bangunan masjid dan gereja buatan manusia. Dialog dan hubungan manusia dengan Pencipta nya bisa tersambung dan dilakukan dimana saja dan kapan saja termasuk di rumah saat _stay at home isoman di rumah_
Ketiga, ternyata yang pertama dan utama (first thing first) dalam kehidupan beragama bukan soal perkara memperbanyak atau mempertahankan kegiatan ritual keagamaan secara berjamaah di masjid atau di tempat - tempat ibadah lainnya, tetapi ditekankan pada tindakan dan perbuatan indvidu secara langsung dengan frekwensi Tuhan nya, hingga tiap umat beragama berada di garis terdepan menjaga, memelihara dan mempraktekkan sifat - sifat Tuhan dalam praktek kehidupan sehari hari (religiusitas) di rumah.
Keempat, jika agama itu diyakini sebagai sumber nilai kehidupan bagi aktivitas manusia dalam banyak perspektif, maka sumber itu harus diterapkan terlebih dahulu para kehiduoan individu dan keluarga (stay at home/isoman). Artinya, jika individu manusia sudah baik, maka ia akan bisa membina keluarga dengan baik dan tentu dari keluargalah kemudian nilai - nilai positif kehidupan berdasarkan frekwensi Tuhan tersemai secara efektif dan masif di dalam kehidupan reall yang lebih luas.
Kelima, atas dasar itu semua, maka kegiatan ritual agama yang dipraktekkan selama ribuan atau ratusan tahun dianggap ciptaan manusia sendiri (khusus di Islam, Ritual ibadah keagamaan/ibadah mahdhah adalàh _given_ dari Allah SWT) bukan karangan manusia yang sewaktu waktu bisa diubah - ubah seperti yang terjadi saat era covid 19 ini.
Fenomena di atas mendukung tesis saya sebelumnya, bahwa kegiatan ritual keagamaan keberadaannya dianggap bukan lagi jadi tujuan utama manusia dalam berTuhan. Tujuan utama berTuhan se-olah² adalah menginternalisasikan (nternalize) nilai - nilai (sifat sifat Tuhan) ke dalam kehidupan pribadi manusia, lalu mengejawantahkasifat-sifat tersebut di dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.Praktek ritual keagamaan dianggap penting dan perlu sepanjang itu menjadi suatu metode atau cara untuk mencapai derajat tertinggi manusia. Yakni menjadi manusia unggul/ _insanul kamil_ yang berupaya menyesuaikan diri dengan sifat² Tuhan menuju ridhallah, sebagai insan kamil yg taat pada tujuan makhluk bernama manusia itu ada di dunia sbg khalifatullah fil ard yakni wamàa kholaqtul jinna wal insa, ilaa liya'buduuun.
Wallahu alam.
AR IXVIV